Matematika
merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat yang khas jika
dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Matematika berkaitan dengan
konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya
deduktif. Banyak sekali keajaiban dan keunikan yang terdapat dalam
matematika, yang dapat memicu kreativitas dan kecerdasan, contohnya saja
dalam teta-teki matematika/permainan matematika.
Matematika
juga memiliki sejarah. Sejarah matematika merupakan peyelidikan
terhadap asal mula penemuan yang terdapat dalam bidang matematika dan
sedikit perluasannya, penyelidikan terhadap metode dan notasi matematika
pada masa lalu. Sebelum zaman modern seperti sekarang, perkembangan
matematika mengalami puncaknya hanya di beberapa tempat saja. Tulisan
matematika tertua yang ditemukan adalah Plimpton 322 (matematika
Babilonia sekitar 1900 SM),
Lembaran Matematika Rhind (Matematika Mesir sekitar 2000-1800 SM) dan
Lembaran Matematika Moskwa (matematika Mesir sekitar 1890 SM). Semua
tulisan tersebut berisi tentang teorema Pythagoras, yang menjadi
pengembangan matematika tertua yang paling tersebar luas setelah
aritmatika dasar dan geometri.
Selain
sejarah matematika itu sendiri, terdapat juga sejarah bidang-bidang
yang ada dalam matematika termasuk sistem bilangannya. Misalnya, seperti
sejarah aljabar matematika, sejarah bilangan nol, sejarah bilangan
prima, dan sebagainya. Berikut akan dibahas mengenai sejarah dan
perkembangan bidang-bidang matematika tersebut.
Pertama, kita akan membahas tentang Sejarah Bilangan Nol dan Penemunya
Dalam
matematika modern seperti sekarang, nol sebagai bilangan sudah menjadi
hal yang biasa. Namun, nol tidak ditemukan dalam sistem bilangan yang
paling kuno. Pada masa Yunani dan Romawi Kuno nol bukan merupakan konsep
dalam sistem perhitungan. Bahkan sampai abad pertengahan, nol belum
masuk pada sistem perhitungan Eropa.
Angka
nol ditemukan sekurang-kurangnya 3 kali secara terpisah. Saat itu,
kegunaannya adalah sebagai pengisi kedudukan dalam sistem perhitungan.
Pada
awalnya, bangsa Babilonia tidak memiliki simbol untuk nol karena ruang
kosong antara bilangan-bilangan dianggap cukup sebagai pembatas. Tetapi,
ruang kosong tersebut dapat dengan mudah terabaikan atau
disalahtafsirkan sehingga mereka membuat simbol untuk nol untuk yang
pertama kali. Bentuknya sedikit menyerupai dengan nol sekarang. Namun,
peradaban Babilonia mengalami kemunduran, begitu juga dengan nol.
Bangsa
Yunani Kuno memiliki sistem bilangan yang lebih rumit dibanding bangsa
Babilonia. Namun, mereka tidak mempunyai simbol untuk nol dalam sistem
bilangannya. Justru nol cenderung menimbulkan masalah bagi bangsa
Yunani.
Konsep
bilangan nol dan sifat-sifatnya terus berkembang. Hingga pada abad
ke-7, Brahmagupta, seorang matematikawan India memperkenalkan beberapa
sifat bilangan nol, seperti suatu bilangan jika dijumlahkan dengan nol
akan menghasilkan bilangan itu sendiri, demikian pula jika sebuah
bilangan dikalikan dengan nol hasilnya adalah nol. Namun, Brahmagupta
mengalami kesulitan dan cenderung ke arah yang salah ketika berhadapan
dengan pembagian oleh nol. Dia menyatakan bahwa ‘sebuah bilangan jika
dibagi oleh nol adalah tetap’.
Kesalahan
ini kemudian diperbaiki oeh Bhaskara dalam bukunya ‘Leelavati’ yang
menyatakan bahwa ‘pembagian sebuah bilangan oleh nol adalah jumlah yang
tak terhingga’.
Dalam
suku Indian Kuno, nol disimbolkan dengan sebuah lingkaran dengan titik
di dalamnya. Nol berasal dari bahasa Sansekerta ‘soonya’ yang berarti
tidak ada atau kosong.
Al-Khwarizmi,
seorang matematikawan muslim dari Arab kemudian meneliti sistem
perhitungan Hindu (India). Dia menulis dalam bukunya Hisab Al-Jabr wa
Al-Muqabala Khowarizmi, ‘soonya’ sebagai ‘al-sifr’ atau ‘sifr’ dan
membuat angka-angka India populer. Al-Khwarizmi adalah yang pertama kali
memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis
sepuluh. Sistem ini disebut sistem bilangan desimal. Selain itu,
Al-Khwarizmi juga merupakan penulis kitab aljabar yang pertama. Karyanya
adalah Kitab Al-Jabr Wal Muqabalah, dimana istilah aljabar pertama kali
muncul dalam konteks disiplin ilmu.
Gudang
Ilmu Pengetahuan yang kita ketahui berasal dari kawasan Eropa. Namun,
sejatinya Gudang Ilmu Pengetahuan berasal dari kawasan Timur Tengah,
yaitu Mesopotamia yang menjadi peradaban tertua di dunia.
Masyarakat
dunia sangat mengenal Leonardo Fibonacci sebagai ahli matematika
aljabar. Namun, dibalik kedigdayaan Leonardo Fibonacci sebagai ahli
matematika aljabar ternyata hasil pemikirannya sangat dipengaruhi oleh
matematikawan Muslim, Muhammad bin Musa Al-Khwarizmi. Dia adalah seorang
tokoh yang dilahirkan di Khiva (Iraq) pada tahun 780 M. Dia kemudian
menetap di Qutrubulli, Baghdad. Selain ahli dalam matematika,
Al-Khwarizmi juga seorang ahli geografi, sejarah dan juga seorang
seniman. Karyanya dalam bidang matematika dimaktub dalam Kitabul Jama
wat Tafriq dan Hisab Al-Jabar wal Muqabla. Al-Khwarizmi inilah yang
menemukan angka nol yang digunakan sampai saat ini.
Al-Khwarimi
juga seorang ahli ilmu murni. Karyanya, Kitab Surat Al-Ard
menggambarkan secara detail bagian-bagian bumi. CA Nallino, seorang
penterjemah karya Al-Khwarizmi dalam bahasa Latin menegaskan bahwa tak
ada seorang Eropa pun yang dapat menghasilkan karya seperti
Al-Khwarizmi.
Al-Khwarizmi
meninggal pada tahun 262 H/846 M di Baghdad. Setelah meninggal,
keberadaan karyanya beralih pada komunitas Islam, yaitu bagaimana cara
menjabarkan bilangan dalam sebuah metode perhitungan, termasuk dalam
bilangan pecahan. Di dunia Barat, Ilmu Matematika lebih banyak
dipengaruhi oleh Karya Al-Khwarizmi dibanding karya para penulis Eropa
pada abad pertengahan.
Selanjutnya, kita akan membahas mengenai Sejarah dan Perkembangan Bilangan Prima.
Dalam
sejarah awal perkembangannya, pengertian bilangan prima adalah bagian
dari himpunan bilangan bulat positif lebih dari 1 dan hanya mempunyai
dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Jika definisinya diperluas
menjadi himpunan bilangan bulat, maka dikenal bilangan prima negatif
dan bilangan prima positif. Bilangan-bilangan selain bilangan prima
disebut bilangan komposit. Cara yang paling sederhana untuk menentukan
bilangan prima dalam suatu rentang tertentu adalah dengan menggunakan
Sieve of Erastosthenes (Saringan Erastothenes). Bilangan prima dapat
disebut sebagai batu pembangun bilangan bulat positif seperti yang sudah
dibuktukan dalam Teorema Fundamental Aritmetik.
Dalam
beberapa usaha penemuan yang bertujuan mengkaji hubungan antar bilangan
prima, dikenal pula bilangan prima kembar (twin primes) yang merupakan
pasangan bilangan prima yang memenuhi kaidah p dan p+2 dengan p adalah
bilangan prima. Sebagai contoh, 3 dan 5, 11 dan 13, 29 dan 31.
Sejarah
bilangan prima dimulai pada zaman Mesir Kuno dengan ditemukannya sebuah
catatan yang menyatakan penggunaan bilangan prima pada zaman tersebut.
Namun, bilangan prima dan komposit pada saat itu berbeda dengan bilangan
prima dan komposit yang kita kenal sekarang. Bukti lain permulaan
sejarah bilangan prima adalah sebuah catatan penelitian bilangan prima
oleh bangsa Yunani Kuno.
Dalam
sejarah Yunani Kuno, Pythagoras (570 SM-500 SM) terkenal melalui
‘Theorem of Pythagoras’ dan memunculkan Pythagorean Triples yang
sebenarnya sudah ada sejak 1000 tahun sebelum masa Pythagoras.
Sebelumnya, bangsa Babilonia telah mengenal Pythagorean Triples tersebut
dengan nama Babylonian triples. Babylonian Triples terdapat dalam
Plimpton 322 yang diperkirakan berasal dari tahun 1900 SM. Terdapat
perbedaan antara Pythagorean Triples dengan Babylonian Triples. Pada
Babylonian Triples disyaratkan bahwa u dan v sebagai generator 2uv, u2-v2 dan u2+v2
yang merupakan ukuran sisi-sisi segitiga siku-siku, harus relatif prima
dan tidak mempunyai faktor prima selain 2, 3 atau 5. Sebagai contoh,
56, 90 dan 106 adalah Babylonian Triples karena u=9 dan v=5. Contoh
lain, 28, 45 dan 53 adalah Pythagorean Triples, tetapi bukan Babylonian
Triples karena u=7 dan u memiliki faktor prima 7.
Bilangan
prima dalam Rumusan Bilangan Sempurna terdapat pada karya Euclid dalam
buku IX Elements (300 SM) yang berisi beberapa teorema penting mengenai
bilangan prima, termasuk ketakberhinggaan bilangan prima dan teorema
fundamental aritmatik. Euclid juga memperlihatkan cara menyusun sebuah
bilangan sempurna (perfect number) dari sebuah bilangan prima Mersenne
yang ditemukan kemudian. Bilangan prima Mersenne adalah sebuah bilangan
prima dengan rumus Mn=2n-1. Dalam karya Euclid
tersebut, terdapat proporsi bahwa ‘jika 2n-1 adalah bilangan prima maka
(2n-1)+(2n-1) adalah bilangan sempurna. Pada masa itu, bangsa Yunani
telah menemukan 4 bilangan sempurna, yaitu 6, 28, 496 dan 8128.
Berkaitan dengan bilangan sempurna, sekitar 2000 tahun kemudian seorang
matematikawan, Euler pada tahun 1947 telah mampu menunjukkan bahwa semua
bilangan sempurna adalah genap. Hal ini disebut Konjektur Goldbach.
Dalam Konjektur Goldbach, berbunyi ‘setiap bilangan bulat genap lebih
besar dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai jumlah dari dua
bilangan prima’. Konjektur Goldbach adalah salah satu persoalan yang
belum terpecahkan dalam teori angka dan bahkan dalam matematika secara
keseluruhan. Konjektur Goldbach pertama kali disebut oleh Christian
Goldbach dalam suratnya kepada Euler pada tahun 1942. Dalam suratnya,
Goldbach mengemukakan bahwa bilangan genap lebih dari atau sama dengan 4
dapat ditulis sebagai hasil penjumlahan dua bilangan prima, tetapi dia
tidak berhasil membuktikan kebenarannya.
Pada
teorema ke-20 dari buku IX The Elements Euclide menyatakan bahwa ‘tidak
ada bilangan prima yang terakhir’. Pernyataan ini menunjukkan
ketakberhinggaan bilangan prima yang dibuktikan Euclid dengan
menggunakan cara pembuktian kontradiksi, yang merupakan pertama kali
dalam sejarah matematika. Selain itu, Euclid juga memberikan bukti
Teorema Fundamental Aritmetika, yaitu ‘setiap bilangan bulat dapat
ditulis sebagai hasil kali bilanngan-bilangan prima dalam sebuah bentuk
dasar yang unik’.
Bukti
selanjutnya adalah Sieve of Eratosthenes (Saringan Eratosthenes), yaitu
cara untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu.
Saringan ini ditemukan oleh Eratosthenes, seorang ilmuan Yunani Kuno.
Eratosthenes lahir di Cyrene (Libya), tetapi bekerja dan meninggal di
Alexandria. Dia tidak pernah menikah dan dikenal sombong. Dia belajar di
Alexandria dan untuk beberapa tahun di Athena. Pada 236 SM, ia ditunjuk
oleh Ptolemy III Euergetes I sebagai pustakawan Perpustakaan
Alexandria, menggantikan Zenodotos. Sekitar tahun 255 SM, ia menciptakan
bola armilar yang digunakan secara luas hingga diciptakannya oreri pada
abad 18. Pada 195 SM, ia mengalami kebutaan dan selama setahun
membiarkan dirinya kelaparan hingga meninggal. Ia dicatat oleh Cleomedes
dalam On the Circular Motions of the Celestial Bodies sebagai orang
yang telah menghitung keliling Bumi pada tahun 240 SM, menggunakan
metode trigonometri dan pengetahuan mengenai sudut kemiringan Matahari
saat tengah hari di Alexandria dan Syene (Aswan, Mesir).
Saringan
Eratosthenes merupakan cara paling sederhana dan paling cepat untuk
menemukan bilangan prima sebelum ditemukan Saringan Atkin pada tahun
2004. Saringan Atkin merupakan cara yang lebih cepat, namun lebih rumit
dibandingkan dengan Saringan Eratosthenes. Misalkan kita akan menentukan
semua bilangan prima antara 1 sampai n menggunakan Saringan
Eratosthenes, langkah-langkahnya adalah
1. Tulis semua bilangan antara 1 sampai n, sebut daftar A.
2. Buat daftar yang masih kosong, misal daftar B.
3. Coret bilangan 1 dari daftar A.
4. Tulis 2 pada daftar B, lalu coret 2 dan semua kelipatannya dari daftar A.
5. Bilangan
pertama yang belum dicoret dari daftar A (misalnya 3) adalah bilangan
prima. Tulis di daftar B, lalu coret bilangan ini dan semua
kelipatannya.
6. Ulangi langkah 4 sampai semua bilangan di daftar A tercoret.
7. Semua bilangan di daftar B adalah bilangan prima. kembali setelah berabad-abad berhenti.
Pada
tahun 1640, Pieere de Fermat berhasil membuat Teorema Kecil fermat
(Fermat’s Little Theorem) yang kemudian dibuktikan oleh Leibniz.
Pada
abad XVII, penelitian terhadap bilangan prima dilanjutkan Euler. Lama
setelah itu, Euler menemukan kekurangan pada teorema ini. Seorang
matematikawan Perancis, Marin Mersenne (1588-1648) kemudian membuat
suatu bentuk baru dari bilangan prima yang diberi nama bilangan prima
Mersenne (Mersenne Prime). Cara penentuannya pun belum sempurna karena
diantaranya terdapat beberapa prima semu.
Sampai
abad XIX, masih banyak matematikawan yang beranggapan bahwa 1 adalah
bilangan prima, dari definisi bilangan prima adalah bilangan yang habis
dibagi 1 dan bilangan itu sendiri tanpa membatasi jumlah pembagi. Pada
abad XIX, Legendre dan Gauss membuat sebuah konjektural untuk menghitung
banyaknya bilangan prima yang kurang dari atau sama dengan suatu
bilangan dan dibuktikan pada tahun 1896 dan berganti nama menjadi
Teorema Bilangan Prima (Prime Number Theorem). Sebelumnya pada tahun
1859, Riemann juga mencoba membuktikan konjektural tersebut menggunakan
fungsi zeta.
Pencarian
bilangan prima terus berlanjut. Banyak matematikawan yang meneliti
tentang tes bilangan prima. Sebagai contoh, Pepin’s test untuk bilangan
Fermat (1877), Lucas-Lehmer test untuk bilangan Mersenne (1856), dan
Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada
abad XX, penggunaan bilangan prima di luar bidang matematika mulai
dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika konsep kriptografi ditemukan,
bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan kunci algoritma
enkripsi seperti RSA.
Banyaknya
bilangan prima tak terhingga, berapa pun banyaknya kita menghitung,
pasti akan menemukan bilangan prima. Hal ini menjadi teka-teki, jika
mengingat bilangan prima tidak dapat dibagi oleh bilangan lainnya. Salah
satu hal yang menakjubkan adalah dalam era komputer, kita memberikan
kodetifikasi untuk semua hal yang penting dan rahasia dalam angka jutaan
bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka lainnya. Ini
diperlukan karena dengan penggunaan angka lain, kodetifikasi tadi dapat
dengan mudah ditembus.
Fenomena
inilah yang ditemukan oleh ilmuan dari Duesseldorf (Dr. Plichta),
sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu distribusi misterius bilangan
prima. Para ilmuan sudah lama percaya bahwa bilangan prima adalah bahasa
universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk sebagai komunikasi
dasar. Bahasa ini penuh misteri karena berhubungan dengan perencanaan
universal kosmos.
Dan yang terakhir, kita akan membahas tentang Sejarah dan Perkembangan Aljabar Matematika.
Aljabar
adalah cabang matematika yang mempelajari struktur, hubungan dan
kuantitas. Untuk mempelajari aljabar, digunakan simbol untuk
merepresentasikan bilangan secara umum sebagai sarana penyederhanaan dan
alat bantu memecahkan masalah.
Aljabar
sudah digunakan matematikawan sejak ribuan tahun yang lalu. Asal mula
aljabar dapat ditelusuri dari Babilonia Kuno yang mengembangkan sistem
matematika yang cukup rumit. Mereka sudah dapat mengaplikasikan rumus
dan menghitung solusi untuk nilai yang tidak diketahui dengan
menggunakan persamaan linier, persamaan kuadrat dan persamaan linier tak
tentu. Sebaliknya, bangsa Mesir dan kebanyakan bangsa India, Yunani,
serta Cina masih menggunakan metode geometri untuk memecahkan persamaan,
misalnya seperti yang terdapat dalam “The Rhind Mathematical Papyrus”,
“Sulba Sutras”, “Euclid’s Elements” dan “The Nine Chapters on the
Mathematical Art”. Orang-orang Mesir menggunakan kata ‘heap’ untuk
mewakili bilangan yang tidak diketahui.
Sekitar
tahun 300 SM, seorang sarjana Yunani Kuno, Euclid menulis buku yang
berjudul ‘Elements’. Dalam buku ini, terdapat rumus aljabar yang
dikembangkan dengan mempelajari bentuk-bentuk geometris. Orang-orang
Yunani Kuno biasanya menuliskan permasalahan secara lengkap jika
permasalahan tidak dapat dipecahkan dengan metode geometri. Cara ini
disebut ‘aljabar retoris’ yang membatasi kemampuan mereka untuk
memecahkan masalah yang mendetail.
Seiring
perkembangan zaman, pada abad ke-3, Diophantus of Alexandria (250 M)
menulis buku berjudul Aritmatika, yang menggunakan simbol-simbol untuk
bilangan yang tidak diketahui dan untuk operasi seperti penjumlahan dan
pengurangan. Sistemnya tidak sepenuhnya dalam bentuk simbol, tetapi
berada diantara sistem Euclid dan apa yang digunakan sekarang. Hal ini
dikenal dengan ‘aljabar sinkopasi’.
Ketika
agama Islam mulai muncul pada abad ke-6, terjadi perang antar agama
untuk menundukkan daerah Yahudi, Khatolik dan Nasrani mulai gencar
dilakukan oleh umat muslim. Sehingga pada tahun 641 M, bangsa Arab
berhasil menguasai Alexandria dan menutup sekolah Yunani Kuno terakhir.
Namun, ide-ide bangsa Yunani tetap dipertahankan bahkan dikembangkan,
dan kemudian dibawa ke Eropa Barat setelah menduduki Spanyol pada tahun
747 M.
Bangsa
Arab pertama kali menemukan ide-ide ketika bertemu dengan dokter-dokter
Yunani yang bekerja di Arab. Dua orang sarjana yang terkenal adalah
Brahmagupta (598-660) dan Aryabhata (475-550). Brahmagupta adalah
seorang astronom yang banyak menemukan ciri-ciri untuk luas dan volume
benda padat. Sedangkan Aryabhata adalah seorang ilmuan yang menciptakan
tabel sinus (rasio-rasio istimewa) dan mengembangkan sebuah bentuk
aljabar sinkopasi seperti sistem yang dibuat Diophantus.
Lambat
laun, bangsa Arab mulai mengenal teori yang dimiliki negara jajahan
tersebut. Mereka mulai mengembangkannya dengan cara mereka sendiri.
Kemudian munculah tokoh yang menemukan teori aljabar, Al-Khwarizmi
(780-850), seorang muslim keturunan Usbekistan yang lahir pada tahun 780
M/194 H. Al-Khwarizki merupakan seorang tokoh islam yang berpengetahuan
luas. Pengetahuan dan kemahirannya tidak hanya di bidang syariat,
tetapi juga dalam bidang falsafah, logika, aritmetik, geometri, musik,
sastra, sejarah islam dan ilmu kimia. Sekitar tahun 830 M, ia menulis
tiga buku tentang matematika. Bukunya yang paling terkenal berjudul
“Hisab al-Jabr wa’l Muqabalah” (perhitungan dengan restorasi dan
reduksi). Restorasi maksudnya menyederhanakan sebuah rumus dengan
menggunakan operasi yang sama di kedua sisinya. Sedangkan reduksi
berarti mengkombinasikan bagian-bagian yang berbeda dari sebuah rumus
dan kemudian menyederhanakannya. Al-Khwarizmi juga menciptakan pemakaian
Secans dan Tangens dalam penyelidikan trigonometri dan astronomi. Dalam
usia muda, ia telah bekerja di bawah pamerintahan Kehalifah al-Ma’mun,
daerah Bayt al-Hikmah di Baghdad. Al-Khwarizmi bekerja dalam sebuah
observatory. Al-Khwarizmi juga dipercaya memimpin perpustakaan khalifah.
Sebelum
karya Al-Khwarizmi yang berjudul “Hisab al-Jabr wa’l Muqabalah” muncul,
kata aljabar tidak pernah digunakan. Istilah ‘Aljabar’ berasal dari
bahasa arab ‘al-jabr’ yang berasal dari kitab ‘Al-Kitab al-Jabr
wa-l-Muqabala’ (The Compendious Book on Calculation by Completion and
Balancing) yang ditulis oleh Al-Khwarizmi. kata ‘Al-Jabr sendiri
sebenarnya berarti penggabungan. Bahkan jika dilihat dari sejarahnya,
matematikawan Yunani pada zaman Hellenisme, Diophantus, secara
tradisional telah mengenal konsep aljabar, hanya saja mereka tidak
menggunakan istilah tersebut untuk teori yang mereka miliki.
Seperti
halnya Al-Khwarizmi, Diophantus juga dikenal sebagai ‘Bapak Aljabar’
walaupun sampai sekarang masih diperdebatkan siapa yang berhak atas
gelar tersebut. Pendukung Al-Khwarizmi menunjukkan fakta bahwa hasil
karyanya pada prinsip reduksi masih digunakan sampai sekarang, dan ia
juga memberikan penjelasan yang rinci mengenai penyelesaian persamaan
kuadratik. Sedangkan pendukung Diophantus menunjukkan Aljabar yang
ditemukan dalam Al-Jabr adalah masih sangat dasar dibandingkan Aljabar
yang ditemukan dalam ‘Arithmetica’, karya Diophantus. Matematikawan
Persia lain, Omar Khayyam membangun Aljabar Geometri dan menemukan
bentuk umum geometri dari persamaan kubik. Matematikawan India Mahavira
dan Bhaskara, serta matematikawan Cima, Zhu Shiie juga berhasil
memecahkan berbagai macam persamaan kubik, kuartik, kuintik dan polinom
tingkat tinggi lainnya.
Peristiwa
penting lain adalah perkembangan lebih lanjut dari aljabar yang terjadi
pada abad ke-16. Ide tentang determinan yang dikembangkan oleh
matematikawan Jepang, Kowa Seki di abad ke-17, diikuti oleh Gottfried
Leibniz sepuluh tahun kemudian, untuk memecahkan Sistem Persamaan Linier
secara simultan menggunakan matriks. Gabriel Cramer juga menyumbangkan
hasil karyanya tentang Matriks dan Determinan pada abad ke-18. Aljabar
Abstrak dikembangkan pada abad ke-19, mula-mula berfokus pada teori
Galois dan pada masalah keterkonstruksian.
Aljabar kemudian diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu :
1. Aljabar
Elemanter, aljabar yang mempelajari sifat-sifat operasi pada bilangan
riil dengan simbol sebagi konstanta dan variabel, dan aturan yang
membangun ekspresi dan persamaan matematika yang melibatkan
simol-simbol.
2. Aljabar Abstrak (Aljabar Modern), aljabar yang mempelajari struktur Aljabar yang didefinisikan dan diajarkan secara aksiomatis.
3. Aljabat Linie, aljabar yang mempelajari sifat-sifat khusus dari Ruang Vektor.
4. Aljabar Universal, aljabar yang mempelajari sifat-sifat bersama dari semua struktur aljabar.
Sumber :