TINJAUAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN
TINJAUAN
REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
DAN ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN
 Oleh
Sabtanto Joko Suprapto
Kelompok Program Penelitian Konservasi – Pusat Sumber Daya Geologi Â
SARIÂ
Masalah
utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan
lingkungan. Perubahan kimiawi terutama berdampak terhadap air tanah dan
air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan morfologi dan topografi
lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro yang disebabkan
perubahan kecepatan angin, gangguan habitat biologi berupa flora dan
fauna, serta penurunan produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus
atau gundul. Mengacu kepada perubahan tersebut perlu dilakukan upaya
reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau mengurangi
kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan
agar tidak labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan
 menghasilkan nilai tambah bagi lingkungan dan menciptakan keadaan yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Bentuk
permukaan wilayah bekas tambang pada umumnya tidak teratur dan sebagian
besar dapat berupa morfologi terjal. Pada saat reklamasi, lereng yang
terlalu terjal dibentuk menjadi teras-teras yang disesuaikan dengan
kelerengan yang ada, terutama untuk menjaga keamanan lereng tersebut.
Berkaitan dengan potensi bahan galian tertinggal yang belum
dimanfaatkan, diperlukan perhatian mengingat hal tersebut berpotensi
untuk ditambang oleh masyarakat atau ditangani agar tidak menurun nilai
ekonominya. Â
ABSTRACTÂ
Main
problem raises at post-mining area is environmental change. Chemical
change affects particularly groundwater and surface water prior to
physically change of morphology and land topograpghy. Futher, changing
also micro climate due to change of wind velocity, disturbing biological
habitate such as flora and fauna and degradation of soil productivity
with result either infertility or denudation of land. Base on those
changing, though reclamation is needed to be done. Despite avoiding
erosion or decreasing velocity of water’s run off, reclamation is
done to maintain land from instability and making more productive
condition. Finally, reclamation is hopefully to yield added value to
environment and creating much better condition compared with the past.
Surfacial
form of post-mining area is generally irregular and mostly as steep
morphology. At the time reclamation, steep morphologies are formed to be
terraces which appropriate with original slope in order to maintain
secured slope condition. Concerning with abandoned mining deposit which
haven’t utilitized yet, it’s needed for attention of being potency
for either exploitation by public or being managed it in order to avoid
decreasing its economic value.Â
PENDAHULUANÂ
Reklamasi
adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan
yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat
berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
Pembangunan
berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap
bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh
sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk
kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif, 2007).
Manusia
merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem).
Dengan semakin bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya
pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan permintaan akan lahan
seperti di sektor pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal
tersebut dan dengan semakin hebatnya kemampuan teknologi untuk
memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling
penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.
Kegiatan
pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga
menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang
selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan
pertanian dan pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem
yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan antara lain kondisi fisik, kimia
dan biologis tanah menjadi buruk, seperti contohnya lapisan tanah tidak
berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur
hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada
lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Untuk itu
diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian lingkungan
agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat ditempuh
dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan rehabilitasi
tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga
dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan kondisi
semula (Rahmawaty, 2002).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama
kurun waktu 50 tahun, konsep dasar pengolahan relatif tidak berubah,
yang berubah adalah sekala kegiatannya. Mekanisasi peralatan
pertambangan telah menyebabkan sekala pertambangan semakin membesar.
Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar
rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam
mencapai lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Hal
ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang
sangat besar dan bersifat penting. Pengaruh kegiatan pertambangan
mempunyai dampak yang sangat signifikan terutama berupa pencemaran air
permukaan dan air tanah.
Sumberdaya
alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan bahan tambang
lainnya apabila diekstraksi harus dalam perencanaan yang matang untuk
mewujudkan proses pembangunan nasional berkelanjutan (Arif, 2007). Di
antara keberlanjutan pembangunan tersebut yaitu dapat terwujudnya
masyarakat mandiri pasca penutupan/pengakhiran tambang (Pribadi, 2007). Aktifitas ekonomi tetap berjalan setelah pengakhiran tambang, dan tidak terjadi “Ghost Town†(Kota Hantu).
Daerah yang telah dilakukan pangakhiran tambang tidak selalu berdampak potensi bahan galiannya habis sama sekali. Komoditas
bahan galian tertentu dapat masih tertinggal sebagai akibat tidak
mempunyai nilai ekonomi bagi pelaku usaha yang bersangkutan. Akan tetapi
sumber daya bahan galian tersebut dalam jangka panjang dapat berpeluang
untuk diusahakan apabila antara lain terjadi perubahan harga atau
kebutuhan yang meningkat signifikan.
Reklamasi
lahan bekas tambang selain merupakan upaya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan lingkungan ekosistem yang
baik dan diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya,
dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian yang masih
terttinggal. Â
KEGIATAN PERTAMBANGAN DAN ASPEK LINGKUNGAN
 Kegiatan
pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan sangat rumit,
sarat risisko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan
teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari
beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah
lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang
sejak tahap awal sampai pasca tambang. Pada
saat membuka tambang, sudah harus difahami bagaimana menutup tambang.
Rehabilitasi/reklamasi tambang bersifat progresif, sesuai rencana tata
guna lahan pasca tambang.
Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi penaksiran sumberdaya dan cadangan, perancangan batas penambangan (final/ultimate pit limit), pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perancangan tempat penimbunan (waste dump design),
perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal
dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan,
tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) termasuk pengembangan masyarakat (Community Development) serta Penutupan tambang.
Perencanaan
tambang, sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk
mengantisipasi perlindungan lingkungan dan pengembangan pegawai dan
masyarakat sekitar tambang (Arif, 2007).Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut :
o       Eksplorasi
o       Ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
o       Pengolahan bijih dan operasional pabrik pengolahan
o       Penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
o       Pembangunan infrastuktur, jalan akses dan sumber energi
o       Pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman.
Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan ekstraksi dan pembuangan limbah batuan, dan pengolahan bijih serta operasional pabrik pengolahan. Â
Ekstraksi dan Pembuangan Limbah Batuan Â
Diperkirakan lebih dari 2/3 kegiatan eksrtaksi bahan mineral di dunia dilakukan dengan pertambangan terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.
Ekstraksi
bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya
puncak gunung dan menimbulkan lubang yang besar. Salah satu teknik
tambang terbuka adalah metode strip mining (tambang bidang).
Dengan menggunakan alat pengeruk, penggalian dilakukan pada suatu bidang
galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil,
dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan
limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan
oleh galian sebelumnya. Teknik
tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara
yang tipis dan datar yang terletak didekat permukaan tanah.
Teknik penambangan quarrying bertujuan
untuk mengambil batuan ornamen, dan bahan bangunan seperti pasir,
kerikil, bahan industri semen, serta batuan urugan jalan. Untuk
pengambilan batuan ornamen diperlukan teknik khusus agar blok-blok
batuan ornamen yang diambil mempunyai ukuran, bentuk dan kualitas
tertentu. Sedangkan untuk pengambilan bahan bangunan tidak memerlukan
teknik yang khusus. Teknik yang digunakan serupa dengan teknik tambang
terbuka.
Tambang
bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah
permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah
batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu  besar.
Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah
dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil
dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.
Kegiatan ekstraksi menghasilkan limbah/waste dalam jumlah yang sangat banyak. Total waste
yang diproduksi dapat bervariasi antara 10 % sampai sekitar 99,99 %
dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah
batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup (overburden) dan
limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung
mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi
atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak
ekonomis untuk diolah. Penutup umumnya terdiri dari tanah permukaan dan
vegetasi sedangkan batuan limbah meliputi batuan yang dipindahkan pada
saat pembuatan terowongan, pembukaan dan eksploitasi singkapan bijih
serta batuan yang berada bersamaan dengan singkapan bijih.
Hal-hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada kegiatan ekstraksi dan pembuangan limbah/waste agar sejalan dengan upaya reklamasi adalah :
o       Luas dan kedalaman zona mineralisasi
o       Jumlah batuan yang akan ditambang dan yang akan dibuang yang akan menentukan lokasi dan desain penempatan limbah batuan.
o       Kemungkinan sifat racun limbah batuan
o       Potensi terjadinya air asam tambang
o       Dampak
terhadap kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan kegiatan
transportasi, penyimpanan dan penggunaan bahan peledak dan bahan kimia
racun, bahan radio aktif di kawasan penambangan dan gangguan pernapasan
akibat pengaruh debu.
o       Sifat-sifat geoteknik batuan dan kemungkinan untuk penggunaannya untuk konstruksi sipil (seperti untuk landscaping, dam tailing, atau lapisan lempung untuk pelapis tempat pembuangan tailing).
o       Pengelolaan (penampungan, pengendalian dan pembuangan) lumpur (untuk pembuangan overburden yang berasal dari sistem penambangan dredging dan semprot).
o       Kerusakan bentang lahan dan keruntuhan akibat penambangan bawah tanah.
o       Terlepasnya gas methan dari tambang batubara bawah tanah.
Pengolahan Bijih dan Operasional Pabrik Pengolahan Â
Pengolahan
bijih akan menghasilkan limbah yang mempunyai karakteristik tergantung
pada jenis bijih dan metoda pengolahannya. Penanganan dan penempatan
limbah tersebut dalam rangka merehabilitasi/reklamasi lingkungan pasca
tambang  mempertimbangkan karakteristik kimia dan fisika limbah.
Mekanisme pengolahan bijih tergantung pada jenis tambang. Umumnya pengolahan bijih terdiri dari proses benefication dimana
bijih yang ditambang diproses menjadi konsentrat bijih untuk diolah
lebih lanjut atau dijual langsung, diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Proses benefication umumnya
terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran dan atau penggilingan,
peningkatan konsentrasi dengan gravitasi atau pemisahan secara magnetis
atau dengan menggunakan metode flotasi (pengapungan), yang diikuti dengan dewatering dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing serta emisi debu. Tailing biasanya mengandung bahan kimia sisa proses dan logam berat.
Pengolahan metalurgi bertujuan untuk mengisolasi logam dari konsentrat bijih dengan metode pyrometalurgi, hidrometalurgi atau elektrometalurgi baik dilakukan sebagai proses tunggal maupun kombinasi. Proses pyrometalurgi seperti roasting (pembakaran) dan smelting menyebabkan terjadinya gas buang ke atmosfir (sebagai contoh: sulfur dioksida, partikulat dan logam berat) dan slag.
Proses
pengolahan bijih bertujuan untuk mengatur ukuran partikel bijih,
menghilangkan bagian-bagian yang tidak diinginkan, meningkatkan
kualitas, kemurnian atau kadar bahan yang diproduksi. Proses ini
biasanya terdiri dari : penghancuran, penggilingan, pencucian,
pelarutan, kristalisasi, penyaringan, pemilahan, pembuatan ukuran
tertentu, sintering (penggunaan tekanan dan panas dibawah titik lebur untuk mengikat partikel-partikel logam), pellettizing
(pembentukan partikel-partikel logam menjadi butiran-butiran kecil),
kalsinasi untuk mengurangi kadar air dan/atau karbondioksida, roasting (pemanggangan),
pemanasan, klorinasi untuk persiapan proses lindian, pengentalan secara
gravitasi, pemisahan secara magnetis, pemisahan secara elektrostatik,
flotasi (pengapungan), penukar ion, ekstraksi pelarut, elektrowining,
presipitasi, amalgamasi dan heap leaching.
Proses
pengolahan yang paling umum dilakukan adalah pemisahan secara gravitasi
(digunakan untuk cebakan emas letakan), penggilingan dan pengapungan
(digunakan untuk bijih besi yang bersifat basa), pelindian (dengan
menggunakan tangki atau heap leaching; pelindian timbunan
(digunakan untuk bijih tembaga/emas kadar rendah, Gambar 1) dan
pemisahan secara magnetis. Tipikal langkah-langkah pengolahan meliputi
penggilingan, pencucian, penyaringan, pemilahan, penentuan ukuran,
pemisahan secara magnetik, oksidasi bertekanan, pengapungan, pelindian,
pengentalan secara gravitasi, dan penggumpalan (pelletizing, sintering, briquetting, dan nodulizing).
Proses
pengolahan bijih menghasilkan partikel berukuran seragam, menggunakan
alat penghacur dan penggilingan. Tiga tahap penghacuran umumnya
diperlukan untuk memperoleh ukuran yang diingginkan. Hasil olahan bijih
berbentuk lumpur, yang kemudian dipompakan ke proses pengolahan lebih
lanjut.
Pemisahan
magnetik digunakan untuk memisahkan bijih besi dari bahan yang memiliki
daya magnetik lebih rendah. Ukuran partikel dan konsentrasi padatan
menentukan jenis proses pemisahan magnetik yang akan digunakan.
Pengapungan
(flotasi) menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok senyawa
mineral tertentu dengan gelembung udara untuk pengumpulan. Bahan kimia
yang digunakan termasuk collectors, frothers, antifoams, activators, and depressants;
tergantung karakteristik bijih yang diolah. Bahan kimia ini dapat
mengandung sulfur dioksida, asam sufat, senyawa sianida, cressol,
disesuaikan dengan karakteristik bijih yang ditambang.
Proses
pemisahan gravitasi menggunakan perbedaan berat jenis mineral untuk
meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting
dalam proses pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam
dengan menggunakan saringan atau hydrocyclon. Tailing padat ditimbun di kolam penampungan tailing,
airnya biasanya didaur ulang sebagai air proses pengolahan. Flokulan
kimia seperti aluminium sulfat, kapur, besi, garam kalsium, dan kanji
 biasanya ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pemadatan. Â
 Gambar
1. Tambang Emas Mesel, Minahasa, Sulut pada tahun 2003, situasi
menjelang penutupan tambang, mengolah sisa bijih yang tersimpan pada stockpile (Tain dkk, 2003)
Pelindian
merupakan proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih
dengan melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu
pelarut seperti air, asam sulfat dan asam klorida atau larutan sianida.
Logam yang diingginkan kemudian diambil dari larutan tersebut dengan
pengendapan kimiawi atau bahan kimia yang lain atau proses elektrokimia.
Metode pelindian dapat berbentuk timbunan, heap atau tangki. Metode pelindian heap leaching
(Gambar 1) banyak digunakan untuk pertambangan emas sedangkan pelindian
dengan timbunan banyak digunakan untuk pertambangan tembaga. Â
Gambar 2. Settling pond untuk pengendapan fine coal dan lumpur ampas pencucian batubara (Tain dkk., 2001)Â
Proses
pengolahan batu bara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan
batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batu bara untuk
menghasilkan batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat
proses ini adalah pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai
(Gambar 2), timbulnya debu dan pembuangan air pencuci (Karliansyah, 2001).Â
LINGKUP REKLAMASIÂ Â
Rehabilitasi
lokasi penambangan dilakukan sebagai bagian dari program pengakhiran
tambang yang mengacu pada penataan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Kegiatan pengakhiran tambang emas Kelian di Kalimantan Timur merupakan
yang pertama di Indonesia untuk pengakhiran tambang sekala besar,
sehingga diupayakan dapat menjadi model percontohan di masa datang. Pola
pengakhiran tambang yang dilakukan oleh KEM (Kelian Equatorial Mining) di Kalimantan Timur merupakan salah satu benchmark
di Indonesia maupun pada tingkat internasional. Pengakhiran tambang
yang dilakukan KEM dijadikan salah satu proyek percontohan program
kemitraan pembangunan atau BPD (Business Partnership for Development) oleh pihak Bank Dunia (Inamdar dkk., 2002).
Salah
satu kegiatan pengakhiran tambang, yaitu reklamasi, yang merupakan
upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar bisa menjadi daerah
bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan
seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung
yang dikupas untuk diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan
sampai seribu meter (Gambar 3), walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau (Herlina, 2004).
Pada
prinsipnya kawasan atau sumberdaya alam yang dipengaruhi oleh kegiatan
pertambangan harus dikembalikan ke kondisi yang aman dan produktif
melalui rehabilitasi. Kondisi akhir rehabilitasi dapat diarahkan untuk
mencapai kondisi seperti sebelum ditambang atau kondisi lain yang telah
disepakati. Kegiatan rehabilitasi dilakukan merupakan kegiatan yang
terus menerus dan berlanjut sepanjang umur pertambangan sampai pasca
tambang.
Tujuan jangka pendek rehabilitasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang
stabil terhadap erosi. Selain itu rehabilitasi juga bertujuan untuk
mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk
digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan
dicapai menyesuaiakan dengan tataguna lahan pasca tambang. Penentuan
tataguna lahan pasca tambang sangat tergantung pada berbagai faktor
antara lain potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat
serta pemerintah. Bekas lokasi tambang yang telah direhabilitasi harus
dipertahankan agar tetap terintegrasi dengan ekosistem bentang alam
sekitarnya.
Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing,
dan penaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan
pengelolaan racun dan air asam tambang (AAT) dengan menggunakan
penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya
AAT. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana
reklamasi meliputi :
o       Pengisian
kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan
bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya
tidak dilakukan pengisian kembali
o       Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air (Gambar 12). Â
Gambar 3. Tambang tembaga Batu Hijau (modifikasi dari Foto koleksi H. Lahar)Â
o       Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya radiasi
o       Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi
o       Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, potensi terjadinya AAT dari bukaan tambang yang terlantar, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan)
o       Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara (Karliansyah, 2001).
o       Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing atau waste
merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik dan
penghasil air asam tambang yang akan mencemari lingkungan, pemanfaatan
sulfida logam tersebut merupakan salah satu alternatif penanganan.
Demikian juga kandungan mineral ekonomi yang lain, diperlukan upaya
pemanfaatan (Gambar 4).
o       Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau waste.Â
Â
Gambar 4. (A) Tailing tambang tembaga mengandung emas; (B) ditambang oleh masyarakat, Mimika, Papua (Foto koleksi SJ Suprapto)
LAHAN BEKAS TAMBANG SEBAGAI EKOSISTEM RUSAK
 Kegiatan
pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem.
Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat
lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah,
tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur
perlindungan alam lingkungan (Gambar 5).
Menurut Jordan (1985 dalam Rahmawaty, 2002), intensitas gangguan ekosistem dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
1.      ringan, apabila
struktur dasar suatu ekosistem tidak terganggu, sebagai contoh jika
sebatang pohon besar mati atau kemudian roboh yang menyebabkan pohon
lain rusak, atau penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan
hati-hati,
2.      menengah, apabila
struktur hutannya rusak berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya
tidak menurun, misalnya penebangan hutan primer untuk ditanami jenis
tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya,
3.      berat, apabila
struktur hutan rusak berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun,
contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi, penggunaan peralatan
berat untuk membersihkan hutan, termasuk dalam hal ini akibat kegiatan
pertambangan. Â
Gambar
5. Lahan reklamasi bekas tambang timah, ditambang oleh PETI, tidak
direklamasi kembali, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).Â
REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANGÂ Â
Secara
umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam
merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari
kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi, pencegahan air
asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang.
Kegiatan pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal
ini dapat dilihat dengan hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang
juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu,
juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya
degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan
terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan. Â
Rekonstruksi TanahÂ
Untuk
mencapai tujuan restorasi perlu dilakukan upaya seperti rekonstruksi
lahan dan pengelolaan tanah pucuk. Pada kegiatan ini, lahan yang masih
belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling)
dengan memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada
tidaknya sistem aliran air (drainase) yang kemungkinan terganggu.
Pengembalian bahan galian ke asalnya diupayakan mendekati keadaan
aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) berkisar 70-120 cm yang dilanjutkan dengan re-distribusi tanah pucuk (Gambar 7).
Lereng
dari bekas tambang dibuat bentuk teras, selain untuk menjaga kestabilan
lereng, diperuntukan juga bagi penempatan tanaman revegetasi (Gambar 6
dan 12).Â
Gambar 6. Skema bentuk teras kebun dan guludan (KPP Konservasi, 2006)Â
Gambar  7. Pengurugan kembali bekas tambang emas di Wetar (Foto koleksi R. Hutamadi)Â
RevegetasiÂ
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan
bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang
dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik,
kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity.
Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan
kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi
dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan
perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan
mikroriza.
Secara
ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat
tetapi tidak untuk kondisi tanah. Untuk itu diperlukan pemilihan spesies
yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang
cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk
tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah
iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang
keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan
langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies
yang cocok, dan penggunaan pupuk.
Untuk
mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas
tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi
penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan
spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan
fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui
sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan
bekas tambang (Rahmawaty, 2002).Â
Penanganan Potensi Air Asam TambangÂ
Pembentukan
air asam cenderung intensif terjadi pada daerah penambangan, hal ini
dapat dicegah dengan menghindari terpaparnya bahan mengandung sulfida
pada udara bebas.
Secara kimia kecepatan pembentukan asam tergantung pada pH, suhu, kadar oksigen udara dan air, kejenuhan air, aktifitas kimia Fe3+,
dan luas permukaan dari mineral sulfida yang terpapar pada udara.
Sementara kondisi fisika yang mempengaruhi kecepatan pembentukan asam,
yaitu cuaca, permeabilitas dari batuan, pori-pori batuan, tekanan air
pori, dan kondisi hidrologi. Penanganan air asam tambang dapat dilakukan
dengan mencegah pembentukannya dan menetralisir air asam yang tidak
terhindarkan terbentuk.          Â
Pencegahan
pembentukan air asam tambang dengan melokalisir sebaran mineral sulfida
sebagai bahan potensial pembentuk air asam dan menghindarkan agar tidak
terpapar pada udara bebas. Sebaran sulfida ditutup dengan bahan impermeable antara lain lempung, serta dihindari terjadinya proses pelarutan, baik oleh air permukaan maupun air tanah.          Â
Produksi
air asam sulit untuk dihentikan sama sekali, akan tetapi dapat
ditangani untuk mencegah dampak negatif terhadap lingkungan. Air asam
diolah pada instalasi pengolah untuk menghasilkan keluaran air yang aman
untuk dibuang ke dalam badan air. Penanganan dapat dilakukan juga
dengan bahan penetral, umumnya menggunakan batugamping, yaitu air asam
dialirkan melewati bahan penetral untuk menurunkan tingkat keasaman
(Suprapto, 2006).Â
Pengaturan DrainaseÂ
Drainase
pada lingkungan pasca tambang dikelola secara seksama untuk menghindari
efek pelarutan sulfida logam dan bencana banjir yang sangat berbahaya,
dapat menyebabkan rusak atau jebolnya bendungan penampung tailing serta
infrastruktur lainnya. Kapasitas drainase harus memperhitungkan iklim
dalam jangka panjang, curah hujan maksimum, serta banjir besar yang
biasa terjadi dalam kurun waktu tertentu baik periode waktu jangka
panjang maupun pendek.
Arah
aliran yang tidak terhindarkan harus meleweti zona mengandung sulfida
logam, perlu pelapisan pada badan alur drainase menggunakan bahan
impermeabel. Hal ini untuk menghindarkan pelarutan sulfida logam yang
potensial menghasilkan air asam tambang (Gambar 13).Â
Tataguna Lahan Pasca TambangÂ
Lahan bekas tambang tidak selalu dekembalikan ke peruntukan semula. Hal
ini tertgantung pada penetapan tata guna lahan wilayah tersebut.
Pekembangan suatu wilayah menghendaki ketersediaan lahan baru yang dapat
dipergunakan untuk pengembangan pemukiman atau kota. Lahan bekas
tambang bauksit sebagai salah satu contoh, telah diperuntukkan bagi
pengembangan kota Tanjungpinang (Gambar 8).Â
 Â
Gambar 8. Reklamasi lahan bekas tambang bauksit untuk pemukiman dan pengembangan kota,Tanjungpinang, Bintan (Rohmana dkk., 2007)Â
Pemilihan
spesies untuk revegetasi terkait juga tataguna lahan pasca tambang.
Perkembangan harga minyak bumi akhir-akhir ini, memberikan peluang untuk
pengembangan bio-energi, diantaranya dengan pengembangan tanaman jarak
pagar untuk menghasilkan minyak. Sebagian lahan bekas tambang telah
dicanangkan untuk program pengembangan bio-energi tersebut (Gambar 9).
Kelebihan jarak pagar adalah selain mampu mereklamasi bekas lahan
tambang dalam waktu singkat, tanaman ini juga menghasilkan sumber energi
terbarukan biodisel (Soesilo, 2007 dalam Ridwan, 2007).Â
Â
Gambar 9. Revegetasi lahan bekas tambang batubara menggunakan tanaman jarak (PT. Berau Coal, 2007)Â
ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIANÂ Â Â Â
      Â
Reklamasi lahan bekas tambang terkait dengan upaya konservasi untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari potensi bahan galian. Upaya konservasi tidak menghendaki adanya potensi bahan galian yang tidak dimanfaatkan. Oleh
karena itu reklamasi lahan bekas tambang harus mempertimbangkan potensi
bahan galian yang masih ada. Baik bahan galian utama yang karena
kualitas atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi, bahan galian lain
diluar yang diusahakan serta komoditas bahan galian yang masih
terkandung pada tailing (Gambar 4 dan 11).
Operasional
kegiatan pertambangan pada tahap penambangan dan pengolahan umumnya
tidak mendapatkan perolehan 100%, yang berarti masih ada bahan galian
yang tertinggal dalam kondisi in situ, sebagai waste atau pada tailing.
Bahan galian tertinggal pada wilayah bekas tambang tersebut pada
beberapa kasus, kembali ditambang, baik oleh pelaku usaha pertambangan
atau oleh masyarakat.
Penambangan
bahan galian tertinggal khususnya oleh masyarakat atau PETI terjadi
pada wilayah bekas tambang lama ataupun yang belum lama dilakukan
reklamasi (Gambar 10), bahkan ketika
kegiatan usaha pertambangan masih berlangsung pada blok yang berbeda.
Mengingat hal tersebut, maka agar reklamasi dapat berhasil dengan baik,
bahan galian tertinggal tidak turun nilainya dan berpeluang untuk
kembali diusahakan, perlu dilakukan langkah penanganan dan perlindungan
sebagai berikut :
o       Bahan
galian tertinggal yang secara ekonomi berpotensi diusahakan untuk
pertambangan rakyat atau pertambangan sekala kecil, perlu dilakukan
sterilisasi, dengan menambang dan mengolahnya sehingga tidak ada lagi
yang tersisa. Sebagai contoh, pada pengakhiran tambang emas Kelian di
Kalimantan Timur, endapan emas aluvial yang ada, ditambang dengan target
perolehan 100% adalah untuk menghilangkan risiko kemungkinan gangguan
terhadap lahan basah di masa mendatang (Inamdar dkk., 2002). Â
Gambar 10. Tailing tambang timah yang telah direklamasi, kembali ditambang oleh masyarakat, Belitung (Widhiyatna dkk., 2006).
o       Bahan galian yang telah terganggu keberadaannya, seperti telah tersimpan di stock pile
akan tetapi mempunyai kualitas atau kadar yang belum mempunyai nilai
ekonomi, harus disimpan pada lokasi dengan penanganan agar tidak turun
nilai ekonominya dan apabila akan dimanfaatkan dapat dengan mudah
digali.
o       Bahan galian in situ yang karena dimensi atau kadarnya belum mempunyai nilai ekonomi agar tidak menjadi areal penimbunan waste atau tailing untuk mencegah turunnya nilai ekonomi.Â
Gambar 11. Pasir kuarsa, merupakan tailing tambang kaolin (Widhiyatna dkk., 2006)Â
o       Akibat
perkembangan teknologi atau harga sehingga komoditas bahan galian dan
atau mineral ikutannya menjadi mempunyai nilai ekonomi, maka kegiatan
usaha pertambangan untuk mengusahakan komoditas tersebut dapat dilakukan
dengan mengikuti aturan perundang undangan yang berlaku.   Â
KESIMPULANÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Pada
pasca tambang, kegiatan yang utama dalam merehabalitisai lahan yaitu
mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau menjadi
ekosistem yang lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan mengurug
kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan
revegetasi lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air asam tambang.            Â
Penataan
lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tataruang wilayah
bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi kawasan
lindung ataupun budidaya.           Â
Lahan
pasca tambang memerlukan penanganan yang dapat menjamin perlindungan
terhadap lingkungan, khsususnya potensi timbulnya air asam tambang,
yaitu dengan mengupayakan batuan mengandung sulfida tidak terpapar pada
udara bebas, serta dengan mengatur drainase.          Â
Bahan
galian yang mengandung komoditas masih mempunyai peluang untuk menjadi
ekonomis perlu penanganan dan penyimpanan yang baik agar tidak turun
nilai ekonominya, serta apabila diusahakan dapat digali dengan mudah.
Diupayakan
agar tidak ada bahan tambang ekonomis yang masih tertinggal. Hal ini
terutama bahan galian yang potensial mengundang masyarakat atau PETI
untuk memanfaatkannya, sehingga akan mengganggu proses reklamasi, maka
perlu disterilkan terlebih dahulu dengan menambang dan mengolahnya.Â
UCAPAN TERIMAKASIHÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Terimakasih disampaikan kepada rekan-rekan di Kelompok Program Penelitian Konservasi atas bantuan dan kerjasamanya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â
ACUANÂ
Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam Ratulangi, Manado
Herlina, 2004. Melongok Aktivitas Pertambangan Batu Bara Di Tabalong, Reklamasi 100 Persen Mustahil. Banjarmasin Post, Banjarmasin
Inamdar, A., dan Makinuddin, N., 2002. Kelian Mine Closure Steering Committee, Independent Facilitator’s Report
Pribadi, P., 2007. Peranan Asosiasi Dalam Peningkatan Kualitas Program CSR Perusahaan Tambang, Indonesian Mining Association, Balikpapan.
PT. Berau Coal, 2007. Pengembangan dan Penggunaan Biodisel di PT. Berau Coal Bebasis Tanaman Jarak, http://pub.bhaktiganesha.or.id/itb77/files/Biofuel%20papers
Karliansyah, M.R., 2001. Aspek Lingkungan Dalam AMDAL Bidang Pertambangan. Pusat Pengembangan dan Penerapan AMDAL. Jakarta
KPP Konservasi, 2006. Ensiklopedi Bahan Galian Indonesia, Seri Batugamping, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Rahmawaty, 2002. Restorasi Lahan Bekas Tambang berdasarkan Kaidah Ekologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Ridwan, M., 2007. Tanaman Jarak di Bekas Tambang Batu Bara, Harian Umum Sore Sinar Harapan.Rohmana, Djunaedi, E.K., dan Pohan, M.P., 2007. Inventarisasi Bahan Galian Pada Bekas Tambang di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung.
Suprapto, S.J., 2006. Pemanfaatan dan Permasalahan Endapan Mineral Sulfida pada Kegiatan Pertambangan. Buletin Sumber Daya Geologi. Vol. 1 No. 2.
Tain, Z., Suhandi, Rosyid dan Romana, 2001. Pendataan Bahan Galian Tertinggal di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tain, Z., Suprapto, S.J., dan Suhandi, 2003. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Daerah Belang, Kabupaten Minasa, Sulawesi Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Tain, Z., Sutrisno, dan Suprapto, S.J., 2005. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Widhiyatna, D., Pohan, M.P., Putra, C., 2006. Inventarisasi Bahan Galian Pada Wilayah Bekas Tambang di Daerah Belitung, Babel,  Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung Â
Â
 |  |
Sebelum revegetasi |
 Sesudah revegetasi
Gambar 12. Bekas tambang emas diurug dan direvegetasi/dihutankan kembali, Halmahera Utara, Maluku Utara (Tain dkk., 2005)Â
 |  |
Gambar 13. Penanganan drainase lahan bekas tambang emas Mesel, Minahasa, Sulawesi Utara (Tain dkk., 2003)Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Diberdayakan oleh Terjemahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar