Pertambangan = bom waktu bagi RI
JAKARTA
- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku bahwa masalah perizinan di
sektor pertambangan masih menjadi persoalan serius yang bisa menjadi bom
waktu bagi upaya peningkatan investasi di tanah air.
"Banyak
sekali izin-izin yang bermasalah, ribuan, bukan hanya ratusan. Kita
terus benahi dan ini tidak bagus karena menghambat investasi, merusak
segalanya," kata Yudhoyono, hari in. Presiden menuturkan, kasus
perizinan pertambangan selama setahun terakhir terus mencuat di berbagai
wilayah. Salah satu contohnya adalah kasus kerusuhan Bima di Nusa
Tenggara Barat yang sempat menimbulkan gejolak berkepanjangan antara
warga dengan perusahaan.
Terakhir,
dia menambahkan, adalah kasus perizinan areal pertambangan di
Kalimantan Timur yang telah menyeret Presiden ke pengadilan arbitrase
internasional
Menurut
Yudhoyono, ekses implementasi otonomi yang tidak tepat telah
menyebabkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan
Bupati/Walikota menimbulkan masalah. "Kadang-kadang, ganti bupati ganti
izin, ini bom waktu semuanya," tegasnya.
Kondisi
itu, dia melanjutkan, diyakini bisa mengganggu iklim investasi
Indonesia yang kini tengah gencar dicanangkan pemerintah.Melihat kondisi
tersebut, Presiden mengambil keputusan untuk menertibkan izin-izin yang
dikeluarkan Bupati/Walikota itu. Gubernur sebagai perpanjangan
pemerintah pusat akan diberi kewenangan lebih besar melaksanakan
penertiban tersebut.
"Kalau
tidak tertib, ya kita tegakkan aturan. Baik administrasi, kalau itu
urusan administrasi. Kalau masuk hukum, ya hukum," kata Yudhoyono.
Dengan upaya penertiban tersebut, dia menuturkan, pemerintah berharap
negara Indonesia bisa mengatasi manajemen negatif yang selama ini masih
berkembang. "Ini untuk mengamankan negeri dari manajemen negatif
tentunya, salah urus, yang terjadi di era reformasi ini," ujarnya.
Sementara
itu, Anggota Komisi 7 DPR, Dewi Aryani, menilai pemerintah menganggap
masalah ini sebagai masalah biasa yang nantinya akan berlalu begitu
saja, sementara kekayaan alam bangsa ini tergerus dan habis di
ekploitasi asing yang tidak secara maksimal memberi manfaat untuk
kepentingan nasional.
Dia
mencontohkan, kasus mandegnya renegosiasi mencerminkan Freeport memang
tidak ada niat baik. Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia
mengajukan enam butir Renegosiasi yakni terkait luas wilayah kerja,
perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban
pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan
barang atau jasa pertambangan dalam negeri.
"Dari
keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan
royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya
hanya sebesar satu persen, setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari
harga jual per ton, yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi
negara," ungkap Dewi.
Dewi
menambahkan, langkah renegosiasi yang dilakukan Pemerintah dengan
Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor
energi di Indonesia. Namun, pemerintah terkesan setengah-setengah
menanam keseriusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang
seharusnya diprioritaskan. Padahal, jika Pemerintah memahami dengan
benar bahwa energi memiliki interkonektivitas yang kompleks dengan
berbagai sektor kehidupan yang lain, maka seharusnya niatan untuk
mereposisi sektor energi sebagai leading sector tidak lagi
setengah-setengah.
Menurutnya,
hal ini karena kegagalan akan menimbulkan eksternalitas negatif kepada
sektor lainnya dan akan mengganggu berjalannya proses pembangunan. Dia
melanjutkan, keterkaitan energi dengan berbagai sektor lain seperti
ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial menempatkan energi sebagai
sebuah hal yang keberadaannya perlu diposisikan dalam ruang lingkup
kebijakan prioritas.
"Pada
kenyataannya, sikap Pemerintah yang selama ini mengesampingkan
kebijakan energi dibandingkan dengan kebijakan lainnya menuai hasil
berupa kelangkaan energi yang disebabkan oleh salah tata kelola energi,"
katanya.
Selain
itu, dia juga menilai pemerintah tidak mampu menjalankan amanah dalam
konstitusi, yaitu UUD 1945, khususnya pasal 33 Ayat (2) yang
mengamanahkan peran Pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan SDA
yang ada di seluruh Indonesia. "Salah satunya adalah tambang emas yang
saat ini dikelola Freeport," tukasnya.
(dat06/vivanews/okz)